Kamis, 01 Oktober 2015

Namaku Acil

Namaku Acil
Oleh: Munassir Toing

            Namaku Acil, mungkin tak ada yang istimewa dengan sebutan itu, aku adalah anak yang tinggal di sebuah rumah yang boleh dikatakan reot dan tak cukup sehat, serdadu nyamuk selalu latihan militer tiap malam menggaggu tidur kami, tahu kenapa..? kami masih tinggal serumah dengan ternak sapi ayahku. Ayahku seorang petani musiman, aku tinggal di sebuah desa. Penduduknya masuk dalam kategori padat, mata pencaharian orang awam pun lumayan, namun dibalik semua itu sangat berbeda dengan kehidupan keluargaku. Ayahku petani musiman yang hanya menunggu curah hujan dari kemarau yang sudah menjadi tradisi desaku belum cukup untuk menghidupi keluargaku.
            Acil tentu nama yang sangat sederhana, tak menggambarkan aku sosok anak kota, berpakaian bagus, mewah dan hidup serba cukup. Orang-orang kadang memujiku penurut dan otakku bisa diandalkan, tubuhku yang kurus kerempeng nyaris tulang-tulangku tampak bagai rangka bangkai sapi yang habis dimamah anjing ditambah kulitku coklat gosong, orang-orang meledekku “ Lekleng Botolok” yang pasti kulitku menggambarkan hitam pekat akibat melanin yang diproduksi sinar UV setiap hari dari pagi hingga petang mengurusi ternak sapiku di tengah padang yang tak hijau lagi.
            Aku tidak menghujat Tuhan , mengapa aku dilahirkan di tengah keluarga miskin, kumal dan pakaian apa adanya. Mengapa aku harus menggembala sapi, mengolah lahan kering alias membantu ayah berkebun ? Yaaaahhh… itu sudah menjadi takdirku…sudah nasib. Dengan bertani aku berharap bisa membiayai sekolahku sampai  aku akan injak kaki di universitas.

            Agar bisa membantu kehidupan keluargaku, aku tidak tega tinggal diam, aku pun berangkat ke kota jadi tukang becak, kuli bangunan, kuli panggul karung beras yang cukup menguras energy dengan upah yang minim.Masih banyak lagi aktivitas orang dewasa yang pernah menjadi pekerjaan dalam kehidupan ini diantaranya jadi kuli di kapal, Jual Es lilin namun hanya sesaat semuanya tereliminasi.


            Sudah menjadi takdirku mungkin Tuhan menguji kesabaran keluargaku dengan menimpakan hidup kami dalam garis kemiskinan, tapi semua itu tak menjadi beban hidupku. Walaupun aku punya ayah yang berpenghasilan tak menetap namun bagiku ayah adalah ayah nomor satu di dunia, walau hidup terlunta-lunta ayah tak tega melihatku harus putus sekolah, beliau membimbing aku dengan sabar, beliau berharap kelak aku jadi anak yang berguna, kelak bisa merubah kehidupan keluargaku.

            Terkadang aku sampai mengeluarkan air mata setiap pagi jika harus sampai di sekolah, habis uang sewa angkot tiap pagi yang besarnya lima ratus rupiah, ayah harus susah payah  minta pinjaman dari tetangga, ayah pun membuang rasa malunya untuk Door to door mengharap ada tetangga yang bisa menolong agar aku bisa sampai di sekolah. Ayah tak pernah pinjam dalam waktu berabad, terkadang ayah dapat melunasi pada sore harinya.Ayah terkadang punya uang jika beliau ke acara syukuran tetangga dengan uluran amplop sedekah yang saat itu biasanya berisi selebaran uang seribuan. Ayah bukanlah pegawai Syara namun ayah selalu diikutkan sebagai pelengkap anggota dalam acara syukuran, sebut saja “Nyongka Bala”

            “Lira…! “
(ayah selalu memanggilku dengan sebutan itu, nama alias aku budaya daerahku)
“ Ini ada rejeki lima ribu rupiah, cukup sewa angkotmu selama sepuluh hari” Ayah menyodorkan uang selebaran bernilai Rp.5000.
“ insya Allah…yah ! “ uang ini akan aku irit, nanti aku naik mobil angkuatan barang  saja”
          “ Rencana uang ini akan kugunakan buat beli buku di sekolah”
            Ayah menatapku penuh haru, beliau tampaknya sangat kasihan padaku

            Pagi itu aku tiba di sekolah kira-kira limabelas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Sekolah yang berjarak 15 km dari desaku, aku hanya menumpang pada mobil angkutan barang sehingga aku tak menggunakan sepeser uang hingga sampai di sekolah.


            Siang itu jarum jam menunjukkan pukul 09.30, saatnya jam istirahat dari dua jam pelajaran usai. Teman-teman sekelasku hampir semuanya masuk Kantin. Kantin Sekolah yang berdiri di pojok samping kelasku. Aku sengaja membuka buku pelajaranku duduk sambil membaca walau sebenarnya tidak mood membaca.

“ Cil…apa kamu tidak lapar..?”  Ayo kita ke kantin ! “
“ Oh..tidak aku masih segar…aku cari materi dulu nih…!” Aku hanya berpura-pura maklum uang saku hanya cukup untuk bayar angkot pulang

 “Kriiiiiiiiiiiiiiiiiing…!!!
            Bel jam pelajaran kedua berdering, seluruh siswa memasuki kelas masing-masing. Pak Rivai, pria berkacamata, guru Bahasa Inggrisku dan juga menjadi wali kelasku
“ Mulai besok semua siswa wajib membayar uang SPP dan harus lunas sebelum ujian semester, mengerti…?”
Mengerti pak….!!!” Serentak teman-teman menjawab

Mendengar informasi itu  aku terbuai dalam lamunan, reflex kulipat bibirku ke dalam, beban pikiranku hampir tertumpah ke dalam telaga mataku, namun aku tetap bertahan.
“Dari mana ayah bisa dapat uang lagi ?” pikirku dalam hati

“Hee…!!!
Syahrul teman sebangku aku membuatku kaget, aku jadi terbangun dari lamunan.
“ Ada apa ? panas-panas begini melamun ?
“ Ah..tidak..!, melamun apaan ? jawabku  pura-pura

            Syahrul tahu ada sesuatu yang aku sembunyikan namun aku tak mau semua orang tahu apa yang menjadi masalahku. Yaah…pembayaran SPP, pembayaran semester satu saja belum lunas ditambah lagi pembayaran SPP akhir tahun yang harus selesai. Entah bagaimana “ Pasti ada jalan!” pikirku.




Sepulang sekolah aku langsung temui ayah, ayah yang nomor satu di dunia. Hari ini ayah sedang berbaring lelah dibalai-balai bambu tempat menaruh rumput makanan ternak.
“ Yah…minggu ini aku harus melunasi pembayaran SPPku !”
“ Ini kartu pembayaranku semuanya dua ratus tigapuluh ribu rupiah”
“ Sabarlah…!
“aku sebagai tulang punggung keluarga harus bisa menyelesaikan masalah itu”
Ayah dengan tegar berkata demikian
“ Tapi darimana ayah bisa dapat uang sebanyak itu ?”
“Allah  itu adil…Ra’..! dimana ada kemauan disitu ada jalan!”
Itulah prinsip ayah tak pernah mengeluh walau hidup ini makin keras ia perjuangkan

“ Ayah akan coba ke rumah Pak Thamrin, semoga saja bisa memberi pinjaman dan Insya Allah saya akan lunasi setelah kita jual sapi jantan itu “

            Pak Thamrin yang ayah maksud adalah seorang pengusaha kaya yang kebetulan tetangga dengan kami.Ayah nomor satu itu menunjukkan sapinya yang sudah berumur tiga tahun kepadaku,perasaan galauku yang tadinya menanjak terasa turun 180 derajat
            Hatiku sedikit tenang mendengar ungkapan ayah, aku juga melarang ayah untuk ngutang lagi namun hatiku berkata “ Biarlah…daripada aku harus putus sekolah, aku tak mau mengecewakan usaha bapak yang selama ini membimbingku agar bisa tetap sekolah. Liburan depan aku akan ke kota, aku berharap dapat melunasi pinjaman bapak tanpa menjual ternaknya.
            Ketika liburan itu datang , berangkatlah aku ke kota pinrang, kota yang berjarak duaratus kilometer dari tempat tinggalku, demi hidup dan demi sekolahku aku tinggalkan kampong halaman, jauh dari keluarga…dan juga dengan usiaku yang masih muda sekali belumlah saatnya menguras tenaga, mencari nafkah, hari ini aku berjuang membahu beban dengan menarik Becak, jadi kuli panggul memikul karung beras yang beratnya minta ampun cukup menguras tenaga dan meremukkan tulang dengan  upah dua ratus rupiah itu semua kulakukan demi uang pinjaman ayah dan demi menggapai cita-citaku.
           

            Manusia memang tak mampu menebak jalan hidupnya di masa yang akan datang, termasuk aku . aku jalani hidup ini dengan penuh beban-beban berat, seperti jalanan yang tiap hari digilas namun tetap tegar, Seperti ternak sapi ayah yang menarik bajak aku terkadang tak kenal lelah  mencari sesuap nasi dan sekolahku yang hampir putus. Malam dan siang bukanlah sepenggal waktu yang bisa aku bedakan Bersama mereka aku datang, di waktu malam tiada bintang aku pun keluar melanglang buana, di waktu siang aku menantang panas, berselimut dingin menyambar tubuhku menjadi hal yang biasa. Begitulah hidupku menjalani hari-hariku dengan penuh beban dan penderitaan.
 










Bungeng, 14 Oktober 2007