Namaku
Acil
Oleh: Munassir Toing
Namaku Acil, mungkin tak ada yang istimewa dengan sebutan itu, aku adalah
anak yang tinggal di sebuah rumah yang boleh dikatakan reot dan tak cukup
sehat, serdadu nyamuk selalu latihan militer tiap malam menggaggu tidur kami,
tahu kenapa..? kami masih tinggal serumah dengan ternak sapi ayahku. Ayahku
seorang petani musiman, aku tinggal di sebuah desa. Penduduknya masuk dalam
kategori padat, mata pencaharian orang awam pun lumayan, namun dibalik semua
itu sangat berbeda dengan kehidupan keluargaku. Ayahku petani musiman yang
hanya menunggu curah hujan dari kemarau yang sudah menjadi tradisi desaku belum
cukup untuk menghidupi keluargaku.
Acil
tentu nama yang sangat sederhana, tak menggambarkan aku sosok anak kota,
berpakaian bagus, mewah dan hidup serba cukup. Orang-orang kadang memujiku
penurut dan otakku bisa diandalkan, tubuhku yang kurus kerempeng nyaris
tulang-tulangku tampak bagai rangka bangkai sapi yang habis dimamah anjing
ditambah kulitku coklat gosong, orang-orang meledekku “ Lekleng Botolok” yang
pasti kulitku menggambarkan hitam pekat akibat melanin yang diproduksi sinar UV
setiap hari dari pagi hingga petang mengurusi ternak sapiku di tengah padang
yang tak hijau lagi.
Aku tidak menghujat Tuhan , mengapa
aku dilahirkan di tengah keluarga miskin, kumal dan pakaian apa adanya. Mengapa
aku harus menggembala sapi, mengolah lahan kering alias membantu ayah berkebun
? Yaaaahhh… itu sudah menjadi takdirku…sudah nasib. Dengan bertani aku berharap
bisa membiayai sekolahku sampai aku akan
injak kaki di universitas.
Agar bisa membantu kehidupan
keluargaku, aku tidak tega tinggal diam, aku pun berangkat ke kota jadi tukang
becak, kuli bangunan, kuli panggul karung beras yang cukup menguras energy
dengan upah yang minim.Masih banyak lagi aktivitas orang dewasa yang pernah
menjadi pekerjaan dalam kehidupan ini diantaranya jadi kuli di kapal, Jual Es
lilin namun hanya sesaat semuanya tereliminasi.
Sudah menjadi takdirku mungkin Tuhan
menguji kesabaran keluargaku dengan menimpakan hidup kami dalam garis
kemiskinan, tapi semua itu tak menjadi beban hidupku. Walaupun aku punya ayah
yang berpenghasilan tak menetap namun bagiku ayah adalah ayah nomor satu di
dunia, walau hidup terlunta-lunta ayah tak tega melihatku harus putus sekolah,
beliau membimbing aku dengan sabar, beliau berharap kelak aku jadi anak yang
berguna, kelak bisa merubah kehidupan keluargaku.
Terkadang aku sampai mengeluarkan
air mata setiap pagi jika harus sampai di sekolah, habis uang sewa angkot tiap
pagi yang besarnya lima ratus rupiah, ayah harus susah payah minta pinjaman dari tetangga, ayah pun
membuang rasa malunya untuk Door to door mengharap ada tetangga yang bisa
menolong agar aku bisa sampai di sekolah. Ayah tak pernah pinjam dalam waktu
berabad, terkadang ayah dapat melunasi pada sore harinya.Ayah terkadang punya
uang jika beliau ke acara syukuran tetangga dengan uluran amplop sedekah yang
saat itu biasanya berisi selebaran uang seribuan. Ayah bukanlah pegawai Syara
namun ayah selalu diikutkan sebagai pelengkap anggota dalam acara syukuran, sebut
saja “Nyongka Bala”
“Lira…! “
(ayah
selalu memanggilku dengan sebutan itu, nama alias aku budaya daerahku)
“ Ini ada rejeki lima ribu rupiah,
cukup sewa angkotmu selama sepuluh hari” Ayah menyodorkan uang selebaran
bernilai Rp.5000.
“ insya Allah…yah ! “ uang ini akan
aku irit, nanti aku naik mobil angkuatan barang saja”
“
Rencana uang ini akan kugunakan buat beli buku di sekolah”
Ayah menatapku penuh haru, beliau
tampaknya sangat kasihan padaku
Pagi itu aku tiba di sekolah kira-kira
limabelas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Sekolah yang berjarak 15 km dari
desaku, aku hanya menumpang pada mobil angkutan barang sehingga aku tak
menggunakan sepeser uang hingga sampai di sekolah.
Siang itu jarum jam menunjukkan
pukul 09.30, saatnya jam istirahat dari dua jam pelajaran usai. Teman-teman
sekelasku hampir semuanya masuk Kantin. Kantin Sekolah yang berdiri di pojok
samping kelasku. Aku sengaja membuka buku pelajaranku duduk sambil membaca
walau sebenarnya tidak mood membaca.
“ Cil…apa kamu tidak lapar..?” Ayo kita ke kantin ! “
“ Oh..tidak aku masih segar…aku
cari materi dulu nih…!” Aku hanya berpura-pura maklum uang saku hanya cukup
untuk bayar angkot pulang
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiing…!!!”
Bel
jam pelajaran kedua berdering, seluruh siswa memasuki kelas masing-masing. Pak
Rivai, pria berkacamata, guru Bahasa Inggrisku dan juga menjadi wali kelasku
“ Mulai besok semua siswa wajib
membayar uang SPP dan harus lunas sebelum ujian semester, mengerti…?”
Mengerti pak….!!!” Serentak
teman-teman menjawab
Mendengar
informasi itu aku terbuai dalam lamunan,
reflex kulipat bibirku ke dalam, beban pikiranku hampir tertumpah ke dalam
telaga mataku, namun aku tetap bertahan.
“Dari mana ayah bisa
dapat uang lagi ?” pikirku dalam hati
“Hee…!!!
Syahrul teman
sebangku aku membuatku kaget, aku jadi terbangun dari lamunan.
“ Ada apa ? panas-panas begini
melamun ?
“ Ah..tidak..!, melamun apaan ? jawabku pura-pura
Syahrul tahu ada sesuatu yang aku
sembunyikan namun aku tak mau semua orang tahu apa yang menjadi masalahku.
Yaah…pembayaran SPP, pembayaran semester satu saja belum lunas ditambah lagi
pembayaran SPP akhir tahun yang harus selesai. Entah bagaimana “ Pasti ada jalan!” pikirku.
Sepulang sekolah
aku langsung temui ayah, ayah yang nomor satu di dunia. Hari ini ayah sedang
berbaring lelah dibalai-balai bambu tempat menaruh rumput makanan ternak.
“ Yah…minggu ini aku harus melunasi
pembayaran SPPku !”
“ Ini kartu pembayaranku semuanya dua
ratus tigapuluh ribu rupiah”
“ Sabarlah…!
“aku sebagai tulang punggung
keluarga harus bisa menyelesaikan masalah itu”
Ayah dengan
tegar berkata demikian
“ Tapi darimana ayah bisa dapat
uang sebanyak itu ?”
“Allah itu adil…Ra’..! dimana ada kemauan disitu ada
jalan!”
Itulah prinsip
ayah tak pernah mengeluh walau hidup ini makin keras ia perjuangkan
“ Ayah akan coba ke rumah Pak Thamrin,
semoga saja bisa memberi pinjaman dan Insya Allah saya akan lunasi setelah kita
jual sapi jantan itu “
Pak Thamrin yang ayah maksud adalah
seorang pengusaha kaya yang kebetulan tetangga dengan kami.Ayah nomor satu itu
menunjukkan sapinya yang sudah berumur tiga tahun kepadaku,perasaan galauku
yang tadinya menanjak terasa turun 180 derajat
Hatiku sedikit tenang mendengar
ungkapan ayah, aku juga melarang ayah untuk ngutang lagi namun hatiku berkata “
Biarlah…daripada aku harus putus sekolah, aku tak mau mengecewakan usaha bapak
yang selama ini membimbingku agar bisa tetap sekolah. Liburan depan aku akan ke
kota, aku berharap dapat melunasi pinjaman bapak tanpa menjual ternaknya.
Ketika liburan itu datang ,
berangkatlah aku ke kota pinrang, kota yang berjarak duaratus kilometer dari
tempat tinggalku, demi hidup dan demi sekolahku aku tinggalkan kampong halaman,
jauh dari keluarga…dan juga dengan usiaku yang masih muda sekali belumlah
saatnya menguras tenaga, mencari nafkah, hari ini aku berjuang membahu beban
dengan menarik Becak, jadi kuli panggul memikul karung beras yang beratnya
minta ampun cukup menguras tenaga dan meremukkan tulang dengan upah dua ratus rupiah itu semua kulakukan
demi uang pinjaman ayah dan demi menggapai cita-citaku.
Manusia memang tak mampu menebak
jalan hidupnya di masa yang akan datang, termasuk aku . aku jalani hidup ini
dengan penuh beban-beban berat, seperti jalanan yang tiap hari digilas namun
tetap tegar, Seperti ternak sapi ayah yang menarik bajak aku terkadang tak
kenal lelah mencari sesuap nasi dan
sekolahku yang hampir putus. Malam dan siang bukanlah sepenggal waktu yang bisa
aku bedakan Bersama mereka aku datang, di waktu malam tiada bintang aku pun
keluar melanglang buana, di waktu siang aku menantang panas, berselimut dingin
menyambar tubuhku menjadi hal yang biasa. Begitulah hidupku menjalani
hari-hariku dengan penuh beban dan penderitaan.
Bungeng, 14 Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar